BANDAR LAMPUNG –Dalam lanskap politik Indonesia, adagium terkenal Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” tampaknya menjadi cerminan yang akurat.
Kondisi saat ini, khususnya terkait dengan lingkaran keluarga Presiden Joko Widodo, mantan ketua Hakim MK Anwar Usman, dan anak/keponakan Gibran Rakabuming Raka, menunjukkan realitas yang memprihatinkan ini.
Tidak hanya terbatas pada satu lingkaran, fenomena ini juga melibatkan hampir seluruh klan politik di Indonesia, termasuk keluarga Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati, serta politisi dan birokrat dari berbagai partai.
Akademisi Universitas Lampung, Robi, menyebut, keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan larangan nepotisme dalam pemilihan umum dan kepala daerah telah membuka pintu bagi berkembangnya dinasti politik.
Menurutnya, secara teoritis, keberadaan politik dinasti atau politik berbasis kekerabatan dan klan tidak menguntungkan bagi demokrasi, yang seharusnya mengedepankan kompetisi yang adil dan jujur.
“Keterlibatan keluarga dalam ranah politik seringkali mengaburkan garis kompetisi yang sehat, memberikan keuntungan, kemudahan, dan prioritas yang tidak adil bagi keluarga yang berkuasa,” jelas Robi, Jumat (12/1/2024).
Kasus ini mencerminkan pentingnya revisi dan pembaruan dalam sistem politik Indonesia untuk memastikan bahwa demokrasi tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga praktik yang adil dan seimbang bagi seluruh warga negara.
“Keterlibatan masyarakat sipil, pengawasan yang lebih ketat, dan reformasi hukum yang tegas menjadi langkah penting untuk memulihkan integritas demokrasi di Indonesia,” ungkapnya.
Sementara, Hendri Satrio, seorang pengamat komunikasi politik, memperingatkan bahwa demokrasi Indonesia berada di ambang kehancuran, terutama jika dinasti Jokowi berhasil memenangkan kekuasaan.
“Singkatnya, demokrasi Indonesia kembali ke situasi titik nol. Bubar sudah,” kata Hendri belum lama ini.
Pernyataannya ini menimbulkan berbagai spekulasi dan pertanyaan turunan, terutama mengenai nasib politik Indonesia kedepan.
Salah satu fokus utama adalah kemungkinan keterlibatan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, serta peran serta Kaesang, anak Jokowi yang lain, dalam kancah politik.
“Apakah Gibran akan memimpin dalam sisa waktu yang ada? Bagaimana dengan Kaesang?,” tanya Hendri.
Lebih lanjut, Hendri menyoroti berbagai aturan yang tampaknya mencoreng prinsip demokrasi.
Contohnya adalah ketentuan masa jabatan kepala desa yang dapat berlangsung hingga sembilan tahun.
Kebijakan ini dianggap sebagai salah satu manifestasi dari pengaruh dinasti politik yang semakin menguat.
“Nasib demokrasi bila dinasti Jokowi berkuasa memang runyam,” jelas Hendri.
Menurutnya, hal ini dapat berujung pada pengikisan nilai-nilai demokrasi dan keadilan yang seharusnya menjadi dasar pengelolaan kekuasaan.
Komentar Robi dan Hendri ini menambah kekhawatiran tentang masa depan demokrasi di Indonesia.
Situasi ini membutuhkan perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa demokrasi tidak hanya tetap bertahan, tetapi juga berkembang menjadi lebih kuat dan inklusif di Indonesia. (*/)